Di dagu kiri saya ada luka parut hampir sepanjang 3cm akibat terjatuh saat lompat dari kereta sekitar 7 tahun lalu.
Lho kok lompat dari kereta? Iya pada waktu itu praktik lompat-lompatan dari dan ke dalam kereta api yang tengah melaju adalah hal yang biasa. Saat itu setiap Senin jam 4 pagi saya menggunakan jasa kereta api dari Bandung ke Jakarta. Pernah beberapa kali saat kereta sudah maju pun saya masih bisa mengejar kereta itu yang disemangati oleh kondekturnya yang berteriak “Ayo neng, lari!” 😅Dan saya akan lari sekencang mungkin di atas peron, melempar tas saya duluan ke dalam gerbong dan melompat ke dalam kereta - mirip adegan di film laga- yang dibantu oleh bapak kondektur yang menjulurkan tangannya dan menarik badan saya. Sama sekali tidak berpikir kalau salah sedikit saja saya dalam melangkah, kaki dan separuh badan saya bisa terjerembab ke bawah kereta dan terlindas roda-roda besi yang tengah berputar itu. Demikianlah, aspek keselamatan bertransportasi di negara berkembang kerap jadi nomor kesekian. Eh ini dulu ya, semoga sekarang ada kemajuan. Dipikir-pikir lagi, kok bisa ya kereta sudah jalan pintunya masih bisa dibuka? Hal yang tak pernah saya temukan di Belanda.
Nah, kembali ke luka parut di dagu kiri saya. Suatu pagi kereta menuju Jakarta yang biasanya tidak berhenti di stasiun Cikini itu kok ya tiba-tiba berhenti disana. Kebetulan kantor saya ada di bilangan Cikini dan pagi itu ada rapat yang harus dipersiapkan. Ketika melihat orang-orang berlompatan keluar dari kereta di Stasiun Cikini saya langsung tergerak untuk ikut melompat. Tapi karena baru terbangun tidur langkah kaki saya masih belum tegap dan saya agak terlambat bergerak. Apa daya saya sudah terlanjur lompat dari kereta yang sudah kembali melaju itu. Saat mendaratkan kaki di atas platform peron terasa sekali tubuh saya terhuyung ke arah melajunya kereta dan kaki beberapa kali melangkah hingga, BRAKKK! Tubuh saya terhenti keras karena saya terjatuh dan wajah bagian kiri menghantam tiang beton yang ada.
Untuk beberapa saat saya sempat pingsan, semua jadi gelap. Dan ketika membuka mata saya melihat beberapa wajah mengelilingi diri saya mereka tampak berkata-kata sesuatu tapi saya tidak bisa mendengarnya karena tertutup oleh suara denging yang memekakkan telinga. Hingga akhirnya salah seorang bapak menegakkan badan saya. Baru beberapa saat kemudian bisa mendengar suara seorang perempuan yang berkata “hiiy, mbak darahnya keluar banyak!”. Saya melihat ke bawah darah saya mengalir keluar dan sebongkah kecil benda putih kecil yang berupa patahan gigi geraham. Ouch...saya baru mulai merasakan sakitnya.
Kemudian saya dilarikan ke terdekat untuk diperiksa apakah ada gegar otak atau tidak dan menghentikan perdarahan dari kulit dagu yang terbuka menganga itu. Meeting pun gagal diikuti, malah boss dan rekan-rekan kerja berkumpul di ruang gawat darurat rumah sakit itu. Selama satu minggu saya nyaris tak bisa membuka rahang dan hanya makan bubur sambil diseruput.
Satu minggu yang mengubah orientasi hidup saya. A kind of break that i needed in a way. Demikianlah cara Gusti Allah menghentikan saya dari terlalu asyik mengurus satu pekerjaan dan melalaikan amanah yang lain adalah dengan membuat badan saya tak berkutik. Satu minggu itu saya merenung. Apalagi ketika diingatkan oleh salah satu kakak seperjalanan dalam bersuluk bahwa kejadian ini adalah sebuah peringatan keras bagi saya. Barangkali sekeras beton yang menghajar wajah saya, karena bisa kadi ini masalah “penghadapan wajah”. Oleh karenanya yang terkena langsung adalah wajah saya.
Kejadian itu terjadi di tahun 2012, tahun yang merupakan awal saya mulai serius menulis di kajiansuluk.blogspot.com yang kumpulan tulisan selama 7 tahun mulai dijadikan buku dan tengah digarap oleh uda Alfathri Adlin , kakak saya yang lain dalam menempuh jalan suluk, yang berbaik hati bersedia mengedit di sela-sela kesibukannya yang menggunung🙏.
Demikianlah bisa jadi sebuah musibah adalah peringatan agar kita lebih adil dalam membagi waktu dalam hidup untuk mengerjakan segenap amanah yang ada dan sebagai pertolongan agar orientasi kehidupan kita benar adanya. Wallahu’alam.
M
No comments:
Post a Comment