Keraguan adalah penyakit hati yang halus merayap di dalam qalb. Kehadirannya kerap dikaburkan oleh seribu satu argumentasi yang ditawarkan oleh logika dan riak kehidupan yang sering menguasai seorang manusia.
Allah adalah Dzat yang mustahil ingkar janji.
Ketika Ia berfirman, “Aku Maha Pemberi rezeki”, pada saat yang sama jujur saja, hati masih lebih lebih cenderung kepada hitung-hitungan yang nampak dibanding rezeki di tangan-Nya yang gaib.
Ketika Ia berfirman, “Aku Maha mengabulkan doa”, pada saat yang sama jujur saja, hati masih dibuat resah dan nyaris putus asa ketika berbagai upaya kandas di depan mata. Padahal sering kali yang harus dipahami adalah arti pengabulan doa itu sendiri. Seperti Rumi menggambarkan bahwa seseorang berdoa di depan sebuah pintu meminta kepada Tuhannya agar pintu itu dibukakan, akan tetapi Tuhan mengabulkan dengan membukakan pintu yang lain. Sang pendoa yang keras kepala ingin bentuk pengabulan yang seperti dia inginkan tentu merasa kecewa merasa doanya tidak dikabulkan.
Ketika di satu sisi ada secercah keyakinan dalam hati kita bahwa Allah Selalu memberi yang terbaik. Tapi di saat yang sama kita merasa pontang-panting menghadapi realitas kehidupan apakah dalam bentuk keadaan rumah tangga yang kurang harmonis, keadaan kantor atau pekerjaan yang tidak menginspirasi, keadaan ekonomi yang terbatas dsb. Di saat itulah benih keraguan menyeruak. Jiwa menjerit, tidak tahan dan mengeluhkan semua “treatment” yang Allah berikan.
Disinilah pentingnya mendawamkan banyak istighfar, karena ketidakmengertian kita terhadap kebijaksanaan Ilahiyah kerap membuat hati berburuk sangka kepada-Nya. Istighfar. Karena walaupun sekadar meremehkan rencana-Nya bisa berakibat fatal seperti yang telah terjadi kepada Siti Sarah yang mendengar pembicaraan dua malaikat dengan suaminya, sang Nabi Ibrahim as yang memberitakan tentang kabar akan diberi keturunan. Siti Sarah, perempuan mulia itu hanya sekadar tersenyum geli membayangkan dirinya yang telah berusia 90 tahun akan dikaruniai seorang anak. Demikian penting pelajaran ini hingga Allah Ta’ala mengabadikannya dalam salah satu ayat dalam Al Qur’an,
“Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh.”(QS Huud: 71-72)
Setelah itu Siti Sarah diuji dengan kehadiran Siti Hajar yang kemudian dikaruniai anak lelaki sebelum akhirnya janji Allah mengaruniakan keturunan Ibrahim as melalui rahim ibunda Sarah terwujud.
Bagaimana dengan kita?
Janji Allah yang mana yang kita ragukan? Kita sepelekan? Kita tidak anggap serius?
Hati-hati, jangan menabur angin jika tidak ingin menuai badai. Kita berhadapan dengan Dzat Yang Maha Kuasa, yang diri kita yang fana ini bahkan tidak memiliki wujud jika Dia tidak pinjami semua bentuk kehidupan. Semoga dihindarkan menjadi hamba yang tidak bersyukur.
Astaghfirullahaladziim…
No comments:
Post a Comment