Figur yang membuat saya ingin jadi dokter itu tokoh fiktif bernama Dokter Sartika dan Dr. Quinn - medicine woman yang film serinya sering saya tonton saat masih kecil dulu. Intinya motivasi saya jadi dokter adalah untuk menolong orang. Dan dalam pengalaman saya, hal yang paling berkesan dalam profesi ini adalah justru saat praktik di pedesaan atau pinggiran kota.
Berhadapan dengan pasien yang tak mampu membayar, atau drop-out menjalani pengobatan TBC sedemikian rupa sampai saya harus blusukan mencari rumahnya naik ojeg agar membuat dia kembali berobat.
Atau saat dipanggil saat jaga malam untuk kasus emergensi dijemput keluarga pasien dengan motor bebeknya melintasi jalanan terjal belum diaspal di bawah cahaya bulan purnama.
Atau saat menangani pasien berupa anak kecil yang kesurupan. Dan sesaat saya terpaksa harus berperan seperti "terkun" (dokter dukun) yang mengobati dengan air yang didoakan.
Atau saat harus mengunjungi keluarga pasien anak yang busung lapar di gang kumuh dan sempit di tengah kota.
Atau saat jaga di rumah sakit Majalaya sendiri di pagi hari dan membantu proses persalinan ibu lima anak yang sudah tak tahan mengejan hingga kepala bayi sudah keluar sementara saya masih sibuk memasang sarung tangan medis.
Dan banyak lagi pengalaman di lapangan yang berharga yang justru tidak saya dapatkan saat berinteraksi dengan pasien-pasien di rumah sakit mentereng di perkotaan.
Makanya saya termasuk yang bersedih hati saat kebijakan PTT bagi dokter dihapuskan. Buat saya itu sebuah kehilangan kesempatan yang besar buat adik-adik yang akan jadi dokter untuk bisa berinteraksi dengan "dunia lain". Masyarakat di pedesaan yang masih percaya pada tahayul, masih mengobati kulit yang terpotong gergaji dengan ditaburkan serbuk kopi - yang membuat saya berjam-jam harus membersihkan jaringan yang koyak tersebut. Pasien yang takut dengan harga tagihan rumah sakit yang sudah pasti mereka tak mampu bayar jika ada anggota keluarga yang sakit. Mereka si miskin itu tidak akan melangkahkan kaki di rumah sakit atau klinik besar di perkotaan. Mereka akan datang ke puskesmas-puskesmas bahkan bidan atau mantri sekitar. Sementara konsentrasi tenaga dokter kita hampir 60% masih terpusat di pulau Jawa.
Memang keadaannya kompleks. I dont' judge anyone. Tapi proses belajar di lapangan, bersentuhan dengan "orang-orang kecil" itu yang menurut saya membentuk karakter seorang dokter. Agar dia tidak memilih profesi itu untuk mencari kekayaan dan kenyamanan hidup pribadi semata. Karena kenyataanya di luar sana masih sangat banyak masyarakat kita yang membutuhkan pertolongan. Lantas apa kita bisa tidur nyaman di malam hari sementara masih ada yang mendera sakit tapi tak mampu berobat di luar sana?
On the way to Groningen,
9 Sya'ban 1443 H
No comments:
Post a Comment