Tuesday, March 15, 2022

 

Kunjungan singkat ke Indonesia beberapa waktu lalu masih berkesan banget di hati saya.
Setelah satu dekade tinggal di Belanda, saya mulai terbiasa dengan sistem kehidupan disini, dengan segala keteraturan dan ketertibannya. Jadi terbengong-bengong lihat kabel listrik beruntai-untai liar di jalanan, jalan yang banyak sampah berserakan atau padatnya lalu lintas di kota besar dengan hampir tak ada ruang untuk pejalan kaki. Tapi ada hal yang selalu saya rindukan dari Indonesia, yaitu nuansa beragamanya. Karena hal yang sangat jarang (kalau hampir tidak pernah) saya dapatkan di negara Belanda dan sekitarnya adalah ketika orang masih lancar lidahnya menyebut "Tuhan". You don't  hear that often.

Kemungkinan begini, di Belanda relatif tidak ada orang yang hidup miskin banget, karena selalu ada jalan untuk mendapatkan tunjangan dari pemerintah, rumah bersubsidi dan sekolah gratis. Jadi kemiskinan yang ada itu sebuah kemiskinan relatif. Kalaupun ada orang yang sampai keleleran di jalanan itu bisa dihitungjari bahkan dibandingkan negara tetangga macam Perancis, Belgia atau Inggris dalam pengamatan saya.

Tapi jangan terkecoh. Semua kemudahan hidup itu tidak serta merta membuat orang bermakna hidupnya. Saya tidak menyebut kata bahagia disini karena ada survei yang menyebutkan bahwa anak-anak di Belanda salah satu yang paling bahagia sedunia. Logikanya, anak yang bahagia itu ya tumbuh dari orang tua yang bahagia.

Tapi bagi saya bahagia adalah satu hal dan memiliki pemaknaan hidup yang dalam adalah hal yang lain. Janganlah bicara masalah ma'rifatullah. Jauh panggang dari api. "Tuhan" masih sebuah topik yang tabu untuk dibicarakan. And I don't really blame them, banyak dari orang Belanda yang mengalami trauma dengan metoda pengajaran agama yang demikian mengekang, dogmatis, dan seperti tak memberikan ruang untuk sebuah penyesuaian. Pokoknya kalau A ya A. Di luar itu dosa! Kamu masuk neraka! Well, narasi semacam itu sudah tidak diterima lagi oleh anak-anak dari generasi baby boomers. Tak heran di Belanda banyak rumah ibadah berubah fungsi jadi mall, toko buku dll karena sudah sepi peminat. Salah satu survei yang dilalukan oleh CBS - Badan Pusat Statistiknya Belanda di 2017,lebih dari separuh  warga Belanda tidak berafiliasi dengan agama apapun, entah mereka agnostik atau atheis sekalian.

Jadi, kalau dalam sebuah percakapan saya membawa-bawa nama Tuhan, bahkan sekadar berdoa itu sudah dianggap aneh. Bagi sebagian besar penduduk Belanda, Tuhan adalah sebuah entitas kuno, dongeng masa lalu yang tak relevan di dunia modern. Memang tidak mudah untuk kemudian mengenal Tuhan di saat semua kehidupan demikian teratur dan tertata rapi. So, you see, sebuah kelapangan kehidupan bisa demikian membuat lalai dan memabukkan manusia. Na'udzubillahimindzaalik.

Masalahnya, saya perhatikan semua kenyamanan hidup yang mereka agung-agungkan itu kerap kali bersifat sementara dan sangat rapuh. Gelombang pandemi Covid19 yang masih membayangi kita seharusnya menjadi sebuah wake-up call bahwa ada hal yang jauh lebih berharga dalam hidup dari sekadar mencari kenyamanan hidup untuk diri san sekian turunan anak cucu.

Manusia itu fitrahnya mencari Tuhan. Karena sadar atau tidak sadar, Dia adalah our first love, cinta pertama kita. Rasa sepi, ketidaknyamanan, kelembaman, kejemuan dan rasa hampa sebenarnya sebuah panggilan untuk lebih mendekat kepada-Nya. Sebuah rasa rindu yang kerap tak dikenali. Tapi manusia memang lebih cenderung short sighted, mengatasi semua hal itu dengan obat simtomatis semata. Ada yang mengejar karir atau kedudukan  yang dikiranya menjadi sumber  prestise. Ada yang mengejar kekayaan yang dikiranya menjadi sumber kebahagiaan. Ada yang all out menyediakan pendidikan atau pekerjaan serta harta sebagai bekal untuk anak cucu, bahkan cicit kalau perlu. Mengira bahwa dengan itu kebahagiaannya akan memanjang.

Tapi, apa yang terjadi kemudian adalah bahwa manusia mengejar itu semua bagaikan mengejar fatamorgana di padang pasir kehidupan yang gersang. Sudah berlelah-lelah sekian lama tapi di ujung hidup hanya menuai penyesalan. Atau seperti fenomena di Belanda, hidupnya sudah demikian mudah sampai ada istilah bosan hidup karena hidupnya paripurna sudah (voltooid leven) dan dalam kondisi tertentu bisa masuk ke klinik euthanasia untuk disuntik mati. Agar bisa "die with dignity", tukas mereka. Wow, mati dengan terhormat dengan cara membunuh diri? Hal yang tak akan pernah terlintas bagi orang yang beragama yang memandang setiap nafas adalah kesempatan untuk bertaubat. Tampaknya hanya orang yang beriman yang nampaknya bisa menghargai setiap tarikan nafas yang Dia berikan dalam format kebersyukuran.

Kembali ke kunjungan saya yang berkesan di Indonesia, saya berkesempatan ngobrol dengan tukang becak dan single mother dengan empat anak yang sudah bertahun-tahun memenuhi kebutuhan keluarga dengan nge-Grab. Kalau dilihat sekilas perjuangan hidup mereka luar biasa, sekadar untuk dapat uang 100ribu sehari demikkan pontang-panting. Tapi ketika mendengar mereka menceritakan kisah hidupnya dengan berbesar hati dan penuh asa sambil sesekali menyebut nama Tuhan dan yakin bahwa Tuhan menyimpan sesuatu yang lebih baik di depan mereka. Di titik itu saya ikut berbahagia dengan mereka dan malah ikut prihatin dengan gaya hidup orang di negara yang katanya maju, tapi sebenarnya keyakinannya mundur.

Ah, pokoknya aku cinta Indonesia!❤🇮🇩

No comments:

Post a Comment