Bisa jadi episode terkelam dalam hidup manusia malah menjadi momen paling bercahaya dalam dirinya. Justru pada saat seseorang ambruk, kehabisan tenaga, pikiran mentok, raga tengah didera penyakit atau sedang di tengah-tengah badai kehidupan itulah ketika ia sedang difakirkan hatinya, dikondisikan demi menatap dalam-dalam wajah Sang Pencipta seraya mengharapkan betul uluran tanganNya.
Sesungguhnya manusia itu dicipta lemah kalau tidak Allah pinjamkan segala fasilitas ilmu dan kekuasaan. Namun hanya sedikit yang menyadari bahwa dibalik kepandaian seseorang, lancarnya rezeki, sehatnya raga, suksesnya usaha, kemahiran yang disanjung orang sejagad itu semua hanya bersifat dipinjamkan dan setiap saat bisa diambil oleh Yang Punya. Ilusi dunia memang terlalu kuat untuk ditembus oleh manusia, bahkan Iblis berkata satu-satunya yang bisa selamat dari jebakan sihir dunia hanya sang hamba yang ikhlas. Yang tidak merasa hebat dengan posisi yang saat ini dimilikinya, yang tidak jemawa dengan harta titipan yang ada, yang tidak sombong dengan kepintarannya. Kadang ketika seseorang lupa dengan posisinya sebagai hamba, lalai dengan amanah yang harus dilaksanakannya dalam penggal waktu yang singkat di dunia maka diturunkanlah musibah yang menghentakkan hidupnya. Mekanisme ini hanya berlaku bagi mereka yang dikehendakiNya untuk kembali (taubat) agar dia bergegas bangkit dari kemalasannya, melepaskan selimut kenyamanannya untuk berjibaku menjalankan fungsinya sebagai khalifah (God' representative) di bumi.
Memang kerap kali mekanisme dibangunkannya jiwa seseorang itu diiringi dengan beberapa kali patah hati (broken heart) berupa patah semangat, pupus harapan, fatalis bahkan marah kepada takdirNya. Namun pada hakikatnya bukan hati manusia yang patah karena hati adalah entitas manusia yang sangat canggih sedemikian rupa hingga Allah berfirman dalam hadits qudsiy:
"Tidak memuat-Ku bagi-Ku petala langit dan bumi-Ku, yang memuatKu hanyalah qalb hamba -hamba-Ku yang mu’min.”
Rasa sakit yang dirasakan datang dari selubung hawa nafsu dan syahwat yang demikian erat menyelimuti hati sehingga kita mengira itu bagian dari diri sendiri. Maka bagi mereka yang bertaubat wajib kiranya menanggung kadar kesedihan tertentu dalam hidup sebagaimana seseorang yang sakit harus menahan pahitnya obat dan perihnya proses penyembuhan. Karena kesedihan itu adalah pintu yang bisa melambungkan jiwa supaya bisa mi'raj kepada Allah Sang Pencipta.[]
No comments:
Post a Comment