Iblis mendatangi Musa as dan berkata, "Wahai Musa, aku menyadari bahwa aku telah berbuat salah, aku hanyalah makhluk ciptaan Allah seperti halnya dirimu dan aku ingin bertaubat kepada Allah, maka dapatkah kau mohonkan ampunan bagiku kepada-Nya?". Lalu Musa as berdoa kepada Allah seraya memohonkan ampunan bagi iblis. Kemudian Allah Swt menjawab permohonan ampun Musa as dengan menyuruh Musa berkata kepada Iblis bahwa Allah akan memaafkannya apabila ia bersujud di hadapan kuburan Adam as. Seketika itu juga Iblis kembali menunjukkan kesombongannya dan berkata, "Aku tidak sudi bersujud kepadanya saat ia hidup dan kau harap aku bersujud kepada jasadnya yang telah mati?"
Demikianlah kesombongan bagaikan api yang menyala dan panasnya menghilangkan kesejukan ketaatan. Iblis yang diluar sana bisa jadi bayangannya ada dalam diri masing-masing. Misalnya saat orang susah sekali untuk memaafkan, padahal perintah Allah jelas dalam Al Quran dan Al Hadits diantaranya:
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
(QS al-A’raf [7]:199)
“Allah tidak akan menambah kemaafan seseorang, melainkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan dirinya karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
"Ah tapi kan dia yang salah, dia dong yang harus minta maaf!
Oh kesalahan seperti itu keterlaluan dan tak mungkin dimaafkan!"
Seribu satu emosi mengambil kendali perilaku seseorang sehingga ia lebih mendengarkan sakit hatinya dibandingkan firman Allah dan Rasulullah.
Memaafkan itu memang tidak mudah, "Orang-orang yang lemah tidak sanggup memaafkan, (sifat pemaaf) itu adalah atribut orang-orang yang kuat", demikian kata Mahatma Gandhi, seorang figur yang terkenal salah satunya karena sifat pemaafnya yang tinggi dan memilih untuk melawan tirani dengan menghindari kekerasan dan menanggung penyiksaan.
Menyimpan amarah dan dendam secara ilmiah terbukti meracuni diri sendiri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Charlotte vanOyen Witvliet, seorang psikolog dari Hope College, ia meminta beberapa orang untuk mengingat seseorang yang pernah menyakitinya. Saat itu juga ia memonitor detak jantung, tekanan darah, ketegangan otot-otot wajah dan aktivitas kelenjar keringat. Kesimpulannya, hanya dengan mengingat kembali kenangan lama itu membuat mereka marah, sedih, gelisah dan merasa tidak berdaya. Lalu Witvlet secara bertahap mengajak orang tersebut untuk memaafkan. Saat setiap orang memaafkan, hal yang menakjubkan terjadi, setiap indikator stress dalam tubuhnya menghilang.
Dendam dan amarah yang dipendam bagaikan bara yang menghanguskan kedamaian dan berdampak buruk kepada kesehatan diri sendiri. Agar kita berjalan ringan menghadapi kehidupan lebih enak melepas semua beban yang memenuhi dada, seperti petuah mursyid almarhum "Lupakan dan maafkan."
And keep walking our life, that's how we move forward ...
Ahad pagi Amsterdam, 13 Agustus 2017
8.26
No comments:
Post a Comment