Saturday, April 2, 2022

 IBADAH PUASA, BUKAN SEKADAR INTERMITTEN FASTING

” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS Al Baqarah [2]:183)
Taqwa adalah sesuatu yang akan dibangun oleh orang yang menjalankan puasa didasarkan karena ketaatannya kepada Sang Pencipta.
Puasanya dilakukan bukan sekadar ingin sehat atau sekalian ingin berat badan. Niatnya harus ikhlas betul. Murni, bersih dan tak bercabang. Karena kita berhadapan dengan Tuhan Yang Maha Pencemburu dan Maha Tahu apa isi hati dan pikiran seseorang.
Tuhan yang tidak menerima persembahan yang diberikan dengan niat "Ini untuk-Mu Tuhan, tapi juga agar aku sekalian sehat". Ya sudah kalau begitu untuk kesehatanmu saja.
Puasa itu untuk membangun taqwa.
Ketika orang sebenarnya bisa saja sembunyi-sembunyi makan di tempat yang orang lain tak lihat lalu kembali berpura-pura puasa.
Atau seseorang bisa saja curi-curi minum segelas air di tengah panas terik, saat tak ada orang di sekitar.
Atau ia berbohong.
Atau melampiaskan amarah baik secara lisan ataupun tulisan di sosial media.
Saat berpuasa, itu semua ditahan, tidak dilakukannya.
Rasulullah saw bersabda,
"Kalau ada orang yang mencaci maki atau mengajak berkelahi, katakan ‘aku sedang berpuasa’,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Itu adalah membangun ketaqwaan.
Taqwa itu yang mencegah orang tidak sembunyi-sembunyi makan atau minum. Karena walaupun tak ada orang yang melihat, ketaqwaannya mengatakan Allah Maha Melihat.
Puasa itu menakjubkan. Seseorang menahan dari sesuatu yang pada dasarnya diperbolehkan untuknya, tapi di saat-saat tertentu saja. Setelah maghrib tiba, yaitu pada saat matahari terbenam dan malam merangkak datang. Disitu taqwa sedang dibangun. Belajar bersabar untuk menahan dan menunggu. Karena dalam hidup banyak hal yang kita harus tahan untuk menanggung sebuah penantian.
Puasa itu ajaib. Rasulullah saw bersabda, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau minyak kasturi,” (HR Muslim).
Ini tidak masuk akal. Karena menurut indera penciuman raga kita, bau mulut orang puasa jelas tidak sedap. Kalaupun ia gosok gigi atau kumur menggunakan mouthwash, itu hanya bertahan sebentar saja. Karena bau mulut itu datang dari proses pembersihan saluran pencernaannya. Sistem yang digunakan setidaknya selama 11 bulan tanpa henti di bulan selain Ramadhan. Bisa dibayangkan kotoran-kotoran yang diangkat betapa banyaknya. Lha wong kita tidak mandi satu minggu saja sudah tak karuan barangkali rasanya. Iya, barangkali, karena saya tidak pernah mengalaminya.
Lalu kok bisa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada bau minyak wangi kasturi? Kata kuncinya adalah "di sisi Allah". Ini yang membuat puasa luar biasa dan memang jadi ibadah yang berbeda dengan ibadah lainnya. Hingga Allah Ta'ala berfirman dalam sebuah hadits qudsiy "Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya."
Jadi orang yang puasa sedang membangun sebuah kedekatan yang spesial dengan Allah Ta'ala. Maka ibadah puasa langsung dihandle oleh-Nya, para malaikat disuruh minggir.
Karenanya kita menjadi paham kenapa ada dua kebahagiaan besar bagi orang yang menjalankan puasa. Sesuatu yang Rasulullah saw sabdakan, "Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya," (HR Muslim)
Seseorang hanya bergembira menjumpai sesuatu yang dia dambakan, yang dia cinta dan sayangi, sesuatu yang dia puja. Kegembiraan orang yang biasa berpuasa di dunia saat bertemu Tuhannya adalah buah dari ketaqwaan yang selama hidupnya dia bangun.
So you see, puasa bukan sekadar menjalankan intermitten fasting. Banyak nuansa ketakziman yang tengah ditumbuhkan bersamanya. Rasa haus dan lapar yang kita tahan. Celaan dan fitnah orang yang kita telan. Hasrat dan keinginan yang kita redam. Semuanya dilakukan semata-mata untuk-Nya.
Bagaimana Allah tidak akan membalas sebuah persembahan kepada-Nya yang seperti ini?
Dan balasan dari Allah selalu jauh lebih banyak, lebih berkualitas dan lebih berharga dari sekadar sebiji sawi pengorbanan kita itu.
Ketaqwaan yang dibangun melalui puasa itu baru awal modal perjalanan kita mendekat kepada-Nya. Karena dengan taqwa itu seseorang kemudian menjadi diajari Allah,
“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah akan mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Baqarah[2]: 282).
Diajari apa? Terutama diajari tentang siapa dirinya, apa misi hidupnya, apa tugas utama dia dalam hidup yang hanya sekali ini. Diajari bagaimana membaca kitab dirinya, kitab kehidupannya, kitab Al Quran. Tiga kitab yang paralel dan saling berkaitan.
Jika hasil pembacaannya baik, maka nantikan sebuah konfirmasi dari Allah Ta'ala saat lailatul qadar yang dinantikan diantara malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
"Malam yang lebih baik dari seribu bulan" (QS Al Qadr).
Disitu amr atau ketetapan Ilahiyah atas seorang insan bisa makin mulai teridentifikasi. Hanya dengan rahmat Allah Ta'ala. Yang dengannya seseorang mulai mengenal fitrahnya. Itu kenapa akhir Ramadhan diikuti dengan Idul Fitri, hari orang kembali kepada fitrahnya. Dan di hari raya itu, puasa malah tidak boleh dilakukan. Karena it's a celebration day. Perayaan besar itu bukan karena menyantap sekian banyak hidangan di hari raya. Tapi perayaan yang sesungguhnya adalah karena lepas Ramadhan itu dia menjadi makin mengenal siapa dirinya, apa yang harus dikerjakan, fokusnya dimana. And that is something really worth celebrating.
Agar puasanya tidak sekadar menjalankan intermitten fasting...

1 Ramadhan 1443 H

No comments:

Post a Comment