PARADOKS KEHIDUPAN
Orang itu semakin tua semakin sulit hidupnya.
Lho, kok? Bukannya semakin tua semakin tinggal menikmati saja hasil kerja keras selama ini. Santai menikmati masa pensiun sambil ongkang-ongkang kaki.
Sorry José, but that's not how it works.
Kenapa demikian?
Semakin tua itu semakin banyak yang dipikirkan.
Dulu sewaktu muda hanya memikirkan diri sendiri. Beranjak dewasa sedikit, paling nambah mikirin pekerjaan. Lalu tambah lagi memikirkan pasangan. Terus tambah memikirkan anak. Kemudian memikirkan cucu, and so on and so forth. Hingga kemudian semakin orang menjelang masa pensiun dia akan mencari kegiatan yang membuat hidupnya bermakna.
So, make sense kan semua kumulatif persoalan itu memang makin menumpuk seiring dengan bertambahnya usia.
Tapi, ini kuncinya. Walaupun makin banyak masalah dan pikiran. Orang yang makin dewasa dan matang seiring dengan usia (karena tidak sedikit yang tidak bertambah matang sesuai dengan pertambahan usia) - hatinya semakin lapang. Semua kesulitan itu bagaikan tak berbekas. Dia ringan saja menjalaninya, walaupun orang sekitar melihatnya dengan tatapan nanar.
Hatinya sudah tertempa jadi samudera yang bahkan bisa menelan semua hal yang dibuang ke sana.
Dia bisa demikian karena telah melalui proses menempuh musibah, kesempitan dan keguncangan dalam hidup. Tiga hal yang niscaya Allah hadirkan kepada orang-orang yang beriman sebagai proses pemurnian hati.
Inilah paradoks kehidupan. Perlu keberanian untuk menjelang proses upgrade diri agar di akhir hayat hatinya tenang segila apapun kehidupan sekitarnya. Sehingga ia terpanggil oleh Allah dengan sebutan "wahai jiwa yang tenang".
Orang yang ngeyel akan berkelit. Bisa ngga hidup enak lalu jiwanya jadi tenang gitu.?
I'm sorry, it doesn't work that way...
No comments:
Post a Comment